Kamis, 15 Desember 2011

Anak Tukang Sapu yang Bertekad Ubah Nasib

Satu demi satu alumnus Honda Development Basketball League (DBL) sukses berkiprah di arena National Basketball League (NBL) Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Muhammad Dhiya'Ulhaq.

(AINUR ROHMAN, Bandung)

KAPTEN Garuda Speedy Bandung Octoviano Permata Sura geleng-geleng kepala melihat penampilan impresif Muhammad Dhiya'Ulhaq saat melawan Pacific Caesar Surabaya, Minggu malam (11/12). Setelah laga berakhir, Octo menepuk bahu center bertinggi 204 sentimeter itu di ruang ganti.

Garuda menang sangat telak 92-60. Yaya -sapaan akrab Muhammad Dhiya'Ulhaq- tampil gemilang. Turun hanya tiga menit, pemuda kelahiran Gresik, Jawa Timur, itu mencetak 12 poin. ''Wah, kamu keren mainnya,'' kata Octo. Mendengar pujian sang kapten, pemain 19 tahun tersebut tersenyum kecil.

Yaya memang menjadi salah satu perhatian utama fans Garuda saat ini. Dengan tinggi di atas dua meter, dia diproyeksikan sebagai pelapis center utama Hendrik Agustinus. Jam terbang Yaya belum banyak. Pada laga perdana Garuda melawan Satria Muda Britama Jakarta (10/12), dia sama sekali tidak diturunkan.

Yaya sendiri tidak menyangka bisa mendapat kesempatan emas berlaga secepat ini di NBL Indonesia. Apalagi, bermain untuk tim sebesar Garuda. Semua ini tak lepas dari sepak terjang Yaya di liga basket pelajar terbesar di tanah air, Honda Development Basketball League (DBL). Dia bermain untuk SMA Muhammadiyah 1 Gresik pada 2009.

Waktu itu Yaya masih kelas 2 SMA. Sayang, sekolah Yaya kandas di babak 16 besar oleh SMA 2 Surabaya. ''Saya sendiri tidak masuk first team. Hanya nominasi. Saya juga tidak terpilih di DBL All-Star,'' ucap pemain kelahiran 11 Maret 1992 itu.

Meski tidak berprestasi maksimal, Yaya bertekad melanjutkan kiprahnya di basket. Tubuh yang tinggi menjulang sangat sayang untuk disia-siakan. Bersama teman sekolahnya, Afrizal Faisal, Yaya bersekolah di Garuda School Bandung seusai lulus SMA pada 2010. Sekolah tersebut gratis. Ini yang membuat Yaya tertarik. Dia tidak ingin membabani orang tuanya yang serba kekurangan. Ayahnya, Poniman, hanyalah tukang sapu di sebuah pabrik di Gresik. Adapun sang ibu, Siti Aminah, tidak bekerja.

''Selama di Bandung hidup saya ditanggung Afrizal. Makan, minum, dan tempat tinggal semuanya dari Afrizal,'' kenang pemain bernomor punggung 23 itu. ''Awalnya sulit. Namun, Afrizal meyakinkan bahwa basket akan mengubah hidup saya. Apalagi, kalau masuk NBL,'' imbuhnya.

Benar saja. Melihat tinggi Yaya, tim senior Garuda tertarik merekrutnya. Padahal, dia baru bersekolah dua bulan. Staf pelatih yang waktu itu dipimpin Johannis Winar menginginkan Yaya berlatih di Jakarta, markas Garuda. Dia lantas menguliahkan Yaya di Asian Banking Finance and Informatics Institute Perbanas, Jakarta.

''Bermain di tim senior memberikan tekanan tersendiri. Kalau salah, langsung dimarahi,'' tuturnya. ''Saya banyak sekali dibantu dan mendapat ilmu dari Andre Tiara,'' sambung Yaya.

Seiring masuknya pelatih W. Amran yang terkenal doyan memakai jasa pemain muda, pelan-pelan Yaya menemukan rumah di Garuda. Dia berjanji secepatnya memperbaiki penampilan.

''Pas lawan Pacific, coach bilang saya nggak boleh terlalu banyak nembak. Konsentrasi di bawah ring saja. Ini yang harus segera saya perbaiki. Saya belum puas dengan penampilan awal ini,'' tegasnya.

Selain Yaya, beberapa alumnus DBL Indonesia sudah bermain reguler di NBL sejak musim lalu. Misalnya, mantan anggota DBL Indonesia All-Star 2008 Oei Abraham Yoel Trisakti (Dell Aspac) dan Respati Ragil Pamungkas (Satya Wacana Angsapursa Salatiga).

Dari beberapa alumnus DBL yang menonjol, terdapat nama Hardianus dan Tony Sugiharto. Keduanya menjadi starter Muba Hangtuah IM Sumsel saat berhadapan dengan Satya Wacana Angsapura Salatiga (11/12). ''Hardianus masih butuh jam terbang yang panjang,'' kata pelatih Muba Nathaniel Canson. (*/c2/ca)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar